Siapkah Berubah?

2
1959

Masih sedikit lembaga pendidikan Indonesia yang memanfaatkan Moodle. Kemungkinan terjadi karena banyak pembuatan website di dunia pendidikan lebih berbasis proyek dan dikerjakan oleh developer berbayar mahal.

Daftar website yang menggunakan Moodle bisa dilihat di http://moodle.org/sites/index.php?country=ID. Tercatat ada 427 website, mulai dari website milik perusahaan, universitas, sekolah, lembaga pendidikan nonformal, hingga situs pribadi.

Perusahaan yang memanfaatkan Moodle, misalnya, Garuda Indonesia e-Learning dengan alamat http://training.garuda-indonesia.com/mynts. Lion Air dengan alamat http://ltc.lionair.co.id. Cek juga e-learning milik PT WIKA di http://e-learning.wikarealty.co.id.

Untuk kategori universitas ada FMIPA Universitas Gadjah Mada, http://kuantum.mipa.ugm.ac.id. Beberapa lembaga di bawah Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menggunakan Moodle, misalnya http://kuliah.itb.ac.id.

Dalam diskusi di www.moodle.org, beberapa di antaranya datang dari Indonesia, mengungkap kendala penggunaan e-learning. Apa yang diungkapkan Yudi Wibisono pada tahun 2005 tampaknya masih aktual hingga sekarang.

“Saya merasa hal yang paling sulit adalah meyakinkan jurusan atau fakultas dan dosen lain mengenai masa depan e-learning ini. Harus sabar dan terus-menerus beriklan. Beberapa dosen juga mengalami kesulitan dan takut menggunakan Moodle. Pemberian dokumen petunjuk penggunaan bagi dosen mungkin bisa membantu,” katanya.

Pengguna lain, Yuyun Somantri lewat forum Moodle, menyampaikan keputusasaannya, “Sulit sekali meyakinkan atasan dan teman-teman. Dari 76 orang guru, dua guru TIK dan saya guru Matematika, jelas kalah suara. Sebanyak 73 guru plus satu Kepala Sekolah bilang, ‘Untuk apa (e-learning)? Tidak akan efektif, yang ujungnya ke masalah biaya hosting, kelihatannya tidak mendatangkan keuntungan malah menambah beban,” katanya.

Banyak institusi pendidikan yang tak memanfaatkan e-learning untuk memperkaya pengalaman belajar. Beberapa institusi sudah menggunakannya, tetapi lebih ke gengsi sekolah daripada mengejar efektivitas.

Padahal, dalam pandangan Martin Dougiamas, pendiri software Moodle, Moodle akan merevitalisasi cara belajar top-down (dari atas ke bawah) menjadi proses pembelajaran yang partisipatif. Beberapa resum singkat tulisan dia bisa dilihat di situs pribadinya, www.dougiamas.com.

Moodle memaksa sekolah untuk menerapkan sistem pendidikan yang menghargai pemikiran murid. Murid tidak lagi dianggap sebagai “gelas kosong”, karena itu para murid boleh mengomentari materi atau modul, bahkan bisa mengirim tulisan sebagai bahan pembelajaran. Proses belajar bisa datang dari siapa pun terutama dari anggota komunitas, termasuk dari seorang murid. Siapkah?.

2 COMMENTS

  1. Semuanya memang butuh proses, e-learning sendiri baru pertama kali ini dijalani sebagai alternatif media pembelajaran. Dan memang ujian online dirancang untuk open book dan terbuka. Daripada dilarang contekan tetap saja contekan, dilarang ngerpek tetap saja bikin kerpek-an. Yang ingin bisa dalam pelajaran, tentu akan mempersiapkan diri dengan baik. Karena ingat, waktu pengerjaan ujian tetap berjalan.

    Kalau tidak lebih baik dari ujian manual, tentunya akan di-evaluasi lagi pelaksanaannya.

  2. Yap…

    Semua memang ujung-ujungnya pada SDM yang ada. Mendukung atau tidak? Keputusan tetap ada di 'orang atas'.

    Menurut saya pribadi, pembelajaran online / ujian online bisa sangat bagus kalau diterapkan pada SDM yang bagus pula. Contohnya :

    Suatu saat saya hendak ke warnet di kota saya karena kebetulan speedy saya lagi ngadat. Beberapa menit setelah login, saya mendapati warnet tiba-tiba menjadi riuh. Setelah saya dnegarkan, ternyata mereka adalah siswa sma yang sedang ujian online. Tapi sayangnya mereka mengerjakannya secara kelompok (contekan).

    "Jon….! Port untuk menampilkan monitor apa?

    a. USB

    b. VGA

    c. Serial"

    Temannya yang satunya menjawab :

    "B. VGA"

    Yang jelas, mereka (tidak hanya 2 orang, sekitar 10 orang) mengganggu warnet karena suaranya yang persis orang 'urakan'. Sampai-sampai si pemilik warnet menyuruhnya untuk tenang. Tapi tetap saja ramai.

    Itukah Indonesia model online?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here